Pengambilan keputusan sebagai sebuah aspek
penting dari pilihan karir dan pengembangan karir. Bagaimanapun dengan
pengecualian dari teori pembelajaran sosial Kumblotz (1979), sebagian besar
memberikan tanggapan yang kecil terhadap bagaimana individu membuat keputusan-keputusan
itu.
Model
Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli:
Japson dan Dilley 1974) serta Wight (1984)
Japson dan Dilley 1974) serta Wight (1984)
Jepson dan Dilley membagi model yang mereka
diskusikan kedalam 2 kelompok:
o
model perspektif, yaitu model yang
mendeskripsikan bagaimana keputusan sebaikmnya dibuat, dan
o
model deskriptif, yang menjelaskan
bagaimana keputusan-keputusan sebenarnya dibuat.
Mereka juga mengatakan bahwa proses
meliputi seorang pengambil keputusan dan situasi dimana terdapat 2 alternatif
atau lebih yang membawa hasil potensial dari faktor-faktor penting untuk
pembuat keputusan. Hal-hal yang penting dari proses ini adalah untuk
mengidentifikasikan dan menentukan nilai-nilai relatif kepada
altrernatif-alternatif dan konsekuensi mereka jadi dia dapat memaksimalkan hasilnya.
Kami menguji secara jelas 2 model dari tiap-tiap tipe.
Mitchel (1975) memodifikasi sebuah model yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Restle (1961) sehingga dapat diaplikasikan ke proses pengambilan keputusan dalam karir. Restle mengatakan bahwa pembuat keputusan mencocokan situasi yang dihadapi dengan pandangannya tentang sesuatu yang ideal kemudian memilih alternataif yang paling mirip dengan situasi yang ideal. Mitchel mengidentifikasikan 4 elemen yang dianut oleh pengambil keputusan.
1. Batasan mutlak yaitu faktor-faktor yang harus disajikan atau ditiadakan untuk alternatif agar menjadi aktif
2. Karakteristik negatif yaitu adlah aspek-aspek yang tidak diinginkan.
3. Karakteristik positif adalah aspek-aspek yang diinginkan.
4. Karakteristik netral adalah aspek-aspek yang ada namun tidak relevandengan pilihan yang dibuat.
Pengambil keputusan dapat menggunakan elemen-elemen ini dengan beberapa cara, sebagai pembanding, hanya katrakteristik-karakteristik positif, mengingat alterrnatif-alternatif satu demi satu mencocokan karakteristik positif dengan karakteristik negatif dan kombinasi-kombinasi lainya. Tuersky (1972) mengajukan sebuah model yang ia namai eliminasi oleh aspek-aspek. Pendekatan ini fokus pada semua pilihan secara serempak, dengan masing-masing pilihan mempunyai macam karakteristik. Pada model ini, karakteristik (misal pekerjaan keamanan) untuk tiap-tiap alternatif dicocokan, dan yang tidak sesuai dengan standar pengambil keputusan dieliminasi.
Contoh dari model deskriptif termasuk model pengharapan dari Vroom (1964) menggunakan dua persyaratan kunci dalam mengembangkan modelnya: valensi yang dapat diartikan sebagai pilihan dan harapan yang dapat diartikan sebagai kepercayaan, bahwa pilihan –pilihan dapat diwujudkan. Kedua aspek tersebut penting untuk masing-masing keputusan dan berpengaruh didalam proses. Paksaan atau tekanan untukmembuat sebuah pilihan khusus nsecara langsung berhubungan dengan jumlah valensi dari semua hasil dan kekuatan dari harapan-harapan yang dipilihnya akan muncul pada pencapaian hasil yang diinginkan.
Janis dan Mann (1997) beranggapan bahwa konflik terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan mengambil sebuah keputusan, hal ini menimbulkan tekanan dan ketidakyakinan. Proses dimulai ketika pembuat keoutusan menjadi waspada akan ancaman yang ia rasa perlu untuk dipertimbangkan (misal suara alarm kebakaran). Proses ini berlanjut melewati beberapa langkah yang dapat digambarkan dengan runtutan pertanyaan yang jika dijawab dengan benar, memerlukan tindakan yang membawa ke pertanyaan berikutnya dan ketika dijawab dengan salah akan menimbulkan gangguan terhadap proses pengambilan keputusan. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain sebagai berikut.
1. Apakah beresiko rumit jika tidak saya ubah?
2. Apakah beresiko serius jika tidak saya ubah?
3. Dapatkah saya menentukan sebuah solusi aktif untuk masalah tersebut?
4. Apakah ada cukup waktu untuk mencari alternatif-alternatif aktif?
Individu yang menjawab pertanyaan terakhir secara benar dipertimbangkan berada dalam keadaan bahaya, dimana dapat diberikan perhatian untuk mempelajari informasi tentang kemungkinan-kemungkinan dan untuk menimbang keuntungan dan kerugian masing-masing kemungkinan. Hal ini dipertimbangkan menjadi situasi yang paling baik untuk mendapatkan keputusan yang tepat.
Konselor karir menghadapi sebuah dilema serius ketika membantu para klien dalam proses pengambilan keputusan. Sekarang tidak satupun dari model-model yang telah dijelaskan digabungkan kedalam teori-teori umum. Hal ini muncul seperti bahwa sebuah model dapat membantu beberapa klien dan beberapasituasi lebih baik dan yang lainya mungkin lebih meuaskan hasilnya untuk keadaan yang berbeda. Ironisnya, konselor harus menggunakan sebuah model dalam menentukan model mana yang sepertinya paling bagus untuk klienya saat ini.
Beberapa kesulitan yang besar bagi konselor berkisar pada ketidakmampuan untuk yakin pada penilaian karakteristik klien (misal seseorang tidak yakin terhadap motivasi klien, kejelasan memahami diri sendiri, dan keseksamaan dalammmenganggap dari beberapa faktor) sering tidak mungkin untuk yakin bahwa klien telah digabungkan dengan nilai paling pentingnya dan telah mengukurnya dengan tepat. Meskipun demikian, klien harus dibantu dan konselor harus meilih sebuah model atau kombinasi dari beberapa model yang muncul.
Mitchel (1975) memodifikasi sebuah model yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Restle (1961) sehingga dapat diaplikasikan ke proses pengambilan keputusan dalam karir. Restle mengatakan bahwa pembuat keputusan mencocokan situasi yang dihadapi dengan pandangannya tentang sesuatu yang ideal kemudian memilih alternataif yang paling mirip dengan situasi yang ideal. Mitchel mengidentifikasikan 4 elemen yang dianut oleh pengambil keputusan.
1. Batasan mutlak yaitu faktor-faktor yang harus disajikan atau ditiadakan untuk alternatif agar menjadi aktif
2. Karakteristik negatif yaitu adlah aspek-aspek yang tidak diinginkan.
3. Karakteristik positif adalah aspek-aspek yang diinginkan.
4. Karakteristik netral adalah aspek-aspek yang ada namun tidak relevandengan pilihan yang dibuat.
Pengambil keputusan dapat menggunakan elemen-elemen ini dengan beberapa cara, sebagai pembanding, hanya katrakteristik-karakteristik positif, mengingat alterrnatif-alternatif satu demi satu mencocokan karakteristik positif dengan karakteristik negatif dan kombinasi-kombinasi lainya. Tuersky (1972) mengajukan sebuah model yang ia namai eliminasi oleh aspek-aspek. Pendekatan ini fokus pada semua pilihan secara serempak, dengan masing-masing pilihan mempunyai macam karakteristik. Pada model ini, karakteristik (misal pekerjaan keamanan) untuk tiap-tiap alternatif dicocokan, dan yang tidak sesuai dengan standar pengambil keputusan dieliminasi.
Contoh dari model deskriptif termasuk model pengharapan dari Vroom (1964) menggunakan dua persyaratan kunci dalam mengembangkan modelnya: valensi yang dapat diartikan sebagai pilihan dan harapan yang dapat diartikan sebagai kepercayaan, bahwa pilihan –pilihan dapat diwujudkan. Kedua aspek tersebut penting untuk masing-masing keputusan dan berpengaruh didalam proses. Paksaan atau tekanan untukmembuat sebuah pilihan khusus nsecara langsung berhubungan dengan jumlah valensi dari semua hasil dan kekuatan dari harapan-harapan yang dipilihnya akan muncul pada pencapaian hasil yang diinginkan.
Janis dan Mann (1997) beranggapan bahwa konflik terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan mengambil sebuah keputusan, hal ini menimbulkan tekanan dan ketidakyakinan. Proses dimulai ketika pembuat keoutusan menjadi waspada akan ancaman yang ia rasa perlu untuk dipertimbangkan (misal suara alarm kebakaran). Proses ini berlanjut melewati beberapa langkah yang dapat digambarkan dengan runtutan pertanyaan yang jika dijawab dengan benar, memerlukan tindakan yang membawa ke pertanyaan berikutnya dan ketika dijawab dengan salah akan menimbulkan gangguan terhadap proses pengambilan keputusan. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain sebagai berikut.
1. Apakah beresiko rumit jika tidak saya ubah?
2. Apakah beresiko serius jika tidak saya ubah?
3. Dapatkah saya menentukan sebuah solusi aktif untuk masalah tersebut?
4. Apakah ada cukup waktu untuk mencari alternatif-alternatif aktif?
Individu yang menjawab pertanyaan terakhir secara benar dipertimbangkan berada dalam keadaan bahaya, dimana dapat diberikan perhatian untuk mempelajari informasi tentang kemungkinan-kemungkinan dan untuk menimbang keuntungan dan kerugian masing-masing kemungkinan. Hal ini dipertimbangkan menjadi situasi yang paling baik untuk mendapatkan keputusan yang tepat.
Konselor karir menghadapi sebuah dilema serius ketika membantu para klien dalam proses pengambilan keputusan. Sekarang tidak satupun dari model-model yang telah dijelaskan digabungkan kedalam teori-teori umum. Hal ini muncul seperti bahwa sebuah model dapat membantu beberapa klien dan beberapasituasi lebih baik dan yang lainya mungkin lebih meuaskan hasilnya untuk keadaan yang berbeda. Ironisnya, konselor harus menggunakan sebuah model dalam menentukan model mana yang sepertinya paling bagus untuk klienya saat ini.
Beberapa kesulitan yang besar bagi konselor berkisar pada ketidakmampuan untuk yakin pada penilaian karakteristik klien (misal seseorang tidak yakin terhadap motivasi klien, kejelasan memahami diri sendiri, dan keseksamaan dalammmenganggap dari beberapa faktor) sering tidak mungkin untuk yakin bahwa klien telah digabungkan dengan nilai paling pentingnya dan telah mengukurnya dengan tepat. Meskipun demikian, klien harus dibantu dan konselor harus meilih sebuah model atau kombinasi dari beberapa model yang muncul.
Model Pengambilan Keputusan:
Decision
Analysis
Model yang
membantu para manajer memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam, tetapi
mereka tidak dapat membuat keputusan.
Pengambilan
keputusan merupakan suatu tugas yang sulit dalam kaitan dengan:
•
ketidak-pastian masa depan
• konflik
nilai-nilai atau hasil tujuan
Bagaimana membuat keputusandalam organisasi
v Langkah-langkah dalam membuat
keputusan.
ü Menggambarkan dan mengenali masalah dan kesempatan.
ü Mengidentifikasi dan menganalisis macam langkah
tindakanalternatif, mengestimasi pengaruhnya
dalam masalah atau kesempatan.
ü Memilih tindakan yang lebih disukai.
ü Mengimplikasikan tindakan yang lebih disukai.
ü Mengevaluasi hasil dan kelanjutannya
sebagaimana diperlukan
Bagaimana
keputusan dibuat dalam organisasi?
§ Prosespengambilan
keputusan sistematis tidak mungkin diikuti jika perubahan substansiil yang
terjadi dan banyak teknologi baru yang digunakan.
§ Teknik
keputusan novel boleh menghasilkan pencapaian atasan dalam situasi tertentu.
§ Konsekwensi
pengambilan keputusan yang etis harus dipertimbangkan
Bagaimana
keputusan di ambil dalam organisasi?
Lingkungan
keputusan meliputi:
·
Lingkungan
tertentu.
·
Mengambil resiko
lingkungan.
·
Lingkungan
tidak-pasti.
Ø
Lingkungan
tertentu.
§
Bilamana
informasi adalah cukup untuk meramalkan hasil dari tiap alternative dalam
pengambangan implementasi.
§
Kepastian
adalah masalah ideal dalam memecahkan dan pengambilan keputusanlingkungan
Ø Resiko
lingkungan.
§
–
Bilamana pembuat keputusan tidak dapat menyudahi kepastian mengenai hasil
berbagai macam tindakan, tetapi mereka dapat merumuskan kemungkinan kejadian.
§ –
Kemungkinan dapat dirumuskan melalui sasaran prosedur statistik atau intuisi
pribadi.
Ø Lingkungan ketidak-pastian.
§
–
Bilamana manager memiliki sedikit informasi bahwa mereka tidak dapat menetapkan
kemungkinan suatu kegiatan dari berbagai alternative dan kemungkinan hasil.
§
–
Ketidak-pastian memaksa pembuat keputusan bersandar pada individu dan
kreativitas kelompok untuk berhasil dalam memecahkan masalah.
§
–
Juga yang ditandai oleh dengan cepat mengubah:
•
Kondisi-Kondisi eksternal.
• Kebutuhan
teknologi informasi.
• Personil yang
mempengaruhi definisi pilihan dan masalah.
§
–
perubahan yang cepat ini adalah juga disebut anarki terorganisir.
Bagaimana keputusan dibuat dalam
organisasi?
§
Bentuk-bentuk
keputusan.
§
–
Keputusan terprogram.
• Melibatkan
permasalahan rutin yang muncul secara teratur dan dapat ditujukan melalui
tanggapan standard.
§
–
Keputusan tidak terprogram.
• Melibatkan
bukan permasalahan rutin yang memerlukan solusi secara rinci pada situasi yang
ada
CONTOH
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
KEPUTUSAN DALAM CERTAINTY
(KEPASTIAN)
Hasil dari setiap alternatif tindakan dapat ditentukan dimuka
dengan pasti. Misal model linear
programming, model integer
programming dan model
deterministik.
Tujuan :
• Lebih dari satu tujuan.
• Lebih dari satu alternatif
tindakan
• Setiap tindakan mempunyai satu
atau lebih hasil
KEPUTUSAN DALAM
KONDISI RESIKO
Kurang pastinya
kejadian-kejadian dimasa mendatang, maka kejadian ini digunakan sebagai
parameter untuk menentukan keputusan yang akan diambil
Situasi yang
dihadapi pengambil keputusan adalah mempunyai lebih dari satu alternatif
tindakan, pengambil keputusan mengetahui probabilitas yang akan terjadi
terhadap berbagai tindakan dan hasilnya dengan memaksimalkan expected return
(ER) atau expected monetari value (EMV)
KEPUTUSAN DALAM
UNCERTAINTY (KETIDAKPASTIAN)
Pengambilan
keputusan dalam ketidakpastian menunjukkan
suasana keputusan dimana
probabilitas hasil-hasil potensial
tidak diketahui (tak
diperkirakan). Dalam suasana
ketidakpastian pengambil
keputusan sadar akan hasil-hasil
alternatif dalam bermacam-macam
peristiwa, namun
pengambil keputusan tidak dapat
menetapkan probabilitas
peristiwa.
Organisasi Belajar secara
BerkesinambunganBelajar, dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku akibat
dari pengalaman. Perubahan tingkah laku dimaksud, tentunya merupakan perubahan
dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang sedikit tahu menjadi tahu lebih
banyak dan lebih luas, dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari yang baik
menjadi lebih baik. Pengalaman merupakan sebuah tantangan, atau dapat pula
tantangan merupakan suatu pengalaman yang dapat menjadi stimulan, atau pemicu
atau motivator untuk belajar. Semua organisasi akan selalu menghadapi tantangan-tantangan,
baik dari luar (seperti para pesaing serta kemajuan ilmu dan teknologi) maupun
dari dalam organisasi itu sendiri. Tantangan dari dalam organisasi adalah yang
berhubungan dengan sumberdaya manusia dan perkembangan dari organisasi itu
sendiri. Perkembangan, baik yang mengarah kepada kegagalan, atau yang mengarah
kepada keberhasilan, merupakan tantangan bagi suatu organisasi.
BELAJAR DARI KEGAGALAN
Kegagalan merupakan suatu tantangan di
mana organisasi harus menghadapi tantangan ini untuk belajar. Seperti yang
dialami oleh General Radio Company (GRC) sebuah perusahaan, yang
memproduksi alat-alat testing elektronik di Amerika Serikat. Pada waktu
perang dunia ke II, perusahaan tersebut merupakan yang terbesar. Tetapi karena
kalah bersaing dengan perusahaan lain, pangsa pasarnya terkikis. Berdasarkan
pengalaman tersebut, pada tahun 1972 GRC mengadakan reformasi atau
perubahan sistem secara komprehensif yang lebih berorientasi pada pasar. Lini
produksi yang sebelumnya berjumlah dua puluh, dipangkas menjadi tiga, yang
ditekankan pada lini produksi, penjualan dan pemasaran.
Pada tahun 1973, GRC merekrut sekelompok
eksekutif dari luar organisasi, untuk membantu melaksanakan manajemen
perusahaan yang telah diperbaharui tadi. Untuk simbolisasi secara formal
perubahan tersebut, pihak manajemen mengganti nama lama, menjadi GenRad.
Dengan reformasi tersebut, volume penjualan yang pada tahun 1972 hanya $ 44
juta, meningkat tajam sampai $ 200 juta pada pertengahan 1980 (Robbins, 1994).
Ini sebuah contoh di mana organisasi belajar (merubah kinerjanya) atas dasar
kegagalan yang telah dialami.
BELAJAR DARI
KEBERHASILAN
Bukan hanya kegagalan saja yang menuntut
perubahan, tetapi juga keberhasilan. Celestial Seasoning Inc. (CS) sebuah
perusahaan yang memproduksi minuman kesehatan, yang didirikan oleh Mo
Siegel dan John Hay pada tahun 1971. Awalnya pekerjaan di perusahaan CS
ditangani oleh keluarga mereka berdua yang kala itu masih berumur 20 tahunan.
Siegel dan Hay memetik tumbuhan yang terdapat di jurang dan tebing di sekitar
tempat tinggal mereka. Pada saat yang sama, istri mereka menjahit karung, dan
memilah tumbuhan yang telah didapat untuk di buat teh setelah dicampur dengan
beberapa ramuan.
Pada
tahun pertama SR memasok sepuluh ribu kantong besar teh ramuan, ke toko-toko
makanan di sekitar tempat tinggal mereka. Di awal berdirinya, SR juga dibantu
oleh teman-teman mereka bersama keluarganya. Tidak ada diskripsi tugas, tidak
ada lini produksi, kecuali pembagian kerja. Cara membuat keputusan semuanya
tergantung pada nilai yang dianut oleh para pendirinya. Pertemuan informal
dilakukan seminggu sekali. Tetapi yang dibicarakan bukan hal yang krusial,
hanya menyangkut ciri filosofis dari kantong teh yang dibuat,
pertandingan volleyball, dan makan siang.
Pada
pertengahan tahun 70 an, permintaan teh jamu produksi CR terus meningkat secara
menakjubkan, sehingga tidak dapat terpenuhi dengan sumberdaya dan sistem yang
ada selama ini. CS membutuhkan banyak pekerja dan struktur yang lebih formal.
Pada saat ini CS mempekerjakan lebih dari 200 orang termasuk para professional
dan dilengkapi beberapa departemen, ada lini-lini produksi, dengan diskripsi
pekerjaan yang jelas. Mereka menempati lima buah gudang, di mana sebelumnya
para pekerja dan semua yang terlibat berkumpul hanya dalam satu gudang saja
(Robbins, 1994). Di sini CS belajar dalam arti merubah perilaku untuk lebih
meningkatkan kinerja justru melalui pengalaman keberhasilannya.
Pertanyaanya
apakah Genenral Radio Company Inc. dan Celestial Seasoning akan berhenti
belajar dengan kondisi organisasi (perusahaan) yang sudah seattle tadi.
Tentunya tidak, karena pembelajaran dalam organisasi berarti pengujian
pengalaman secara terus menerus (Senge, 2002). GRC belajar dari kegagalan
menjadi sukses, dan CS karena keberhasilannya belajar untuk meraih sukses yang
lebih besar, di mana hal ini merupakan pengalaman baru bagi organisasi.
Akumulasi dari pengalaman-pengalaman akan menjadi pengetahuan. Pengalaman ini
juga akan menjadi stimulan untuk pembelajaran lebih lanjut. Selain itu semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin banyaknya organisasi
kompetitor yang tentunya juga saling berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam
pengertian luas, menuntut suatu organisasi untuk terus belajar tanpa henti.
BELAJAR DARI
PENGALAMAN MASA LALU
Organisasi besar seperti negara kita
mulai sejak merdeka sampai era reformasi seperti sekarang ini, juga masih terus
belajar terutama di dalam sistem birokrasinya. Awalnya, sistem presidensial,
menjadi sistem parlementer, lalu kembali lagi ke sistem presidensial yang
terjadi pada jaman orde lama. Apa yang terjadi di zaman orde lama merupakan
pengalaman yang mengharuskan negara kita untuk belajar lagi, memperbaiki sistem
dan visi pemerintahannya. Misalnya kalau pada jaman orde lama sistem
kepartaiannya terdiri dari banyak partai dengan berbagai macam ideologi,
dipangkas menjadi hanya tiga partai dengan satu partai yang dominan dan
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. Sistem pemerintahan yang
gemuk dengan seratusan menteri menjadi ramping hanya dengan belasan menteri.
Atau visi pembangunan orde lama yang cenderung beorientasi politik, berubah
pada visi keamanan dan pembangunan ekonomi yang pada awalnya dititik beratkan
pada sektor pertanian.
Jaman orde baru dengan keberhasilan dan
kegagalannya memberikan pengalaman bagi kita untuk belajar dalam arti untuk
berubah menjadi baik dan lebih baik. Sistem tiga partai, dengan satu partai
yang dominan yaitu partai pendukung pemerintah, mengantarkan pada pemerintahan
yang otoriter dan makiavilian. Visi pembangunan yang menekankan pada keamanan
memunculkan pola pemerintah yang cenderung meliteristik dan banyak
terjadi pelanggaran HAM yang menakutkan, dan oknum militer masuk ke semua
sektor mulai dari sektor legislatif, eksekutif atau sektor-sektor lain di
kalangan pemerintahan atau non pemerintah bahkan sampai dunia pendidikan juga
dirambahnya. Penekanan pada pembangunan ekonomi memunculkan pola pikir
pragmatis, pola hidup yang hedonik dan pemerintahan yang penuh dengan KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme), monopoli dan oligopoli.
Penekanan pembangunan pada bidang
ekonomi, dengan mengabaikan aspek yang lain khususnya pendidikan, telah
menyebabkan kualitas sumberdaya manusia kita kalah bersaing dibandingkan
negara-negara lain, dan mengantarkan kita pada label negara pengekspor tenaga
kerja berkualitas rendah sekelas kuli bangunan dan pembantu rumah tangga.
Pemerintahan yang sentralistik menyebabkan pembangunan hanya berpusat di
Jakarta dan sekitarnya saja; sedangkan daerah tetap terbelakang.
Belajar dari pengalaman jaman orde baru,
orde reformasi mereformasi segala sistem yang ada pada jaman orde baru. Sistem
tiga partai kembali lagi menjadi multi partai dengan ideologi partai tidak
hanya Pancasila, serta jatah kursi militer di lembaga Legislatif dihapus dan
segala sesuatu yang berbau militer direduksi. Pembangunan sumberdaya manusia
mulai diperhatikan, misalnya perhatian terhadap dunia pendidikan. Berbagai
komisi untuk menangani perilaku KKN, monopoli dan oligopoli, dan pelanggaran
HAM, dibentuk komisi-komisi seperti KPK, KPPU, Komnas HAM di samping
komisi-komisi yang lain. Pemerintahan tidak sentralistik lagi dengan adanya
Undang-Undang Otonomi Daerah. Pemerintah Daerah dapat memprogramkan pembangunan
daerahnya sendiri, dan bebas menyusun APBD dan PAD nya sendiri. Orde baru telah
belajar dari pengalaman orde lama untuk menjadi baik dan orde reformasi telah
belajar dari pengalaman orde baru utuk menjadi lebih baik. Pertanyaannya apakah
pada era reformasi kita, Negara kita, bangsa kita sudah menjadi baik?. Rupanya
kita masih harus terus balajar, karena proses belajar dalam dunia organisasi
berarti pengujian pengalaman secara terus menerus.
Perubahan merupakan suatu hal yang
tidak dapat dihindari oleh setiap organisasi. Organisasi akan selalu mengalami
dinamika perubahan, baik yang disebabkan dari dalam maupun dari luar
organisasi. Perubahan tidak harus terjadi begitu saja, namun perubahan harus
mampu dikelola dengan baik. Manajemen perubahan diperlukan dalam rangka
membantu proses perubahan menjadi lebih terarah. Artikel ini membahas bagaimana
perubahan harus dilakukan, strategi yang dapat digunakan dalam proses
perubahan, serta membahas kunci sukses dalam mengelola perubahan.
PERSPEKTIF MANAJEMEN PERUBAHAN
Seperti
yang telah dikemukakan oleh Genus (1998), dalam Soerjogoeritno (2004), dalam
menjelaskan perubahan organisasional dapat dilakukan melalui perspektif
manajemen perubahan. Perspektif manajemen perubahan tersebut didasarkan pada
empat dimensi utama, yaitu:
1)
Berkaitan dengan konsep tentang proses perubahan,
2)
Berkaitan dengan konteks dan ketidakpastian,
3)
Berkaitan dengan konsep tentang isi dan skala perubahan yang akan dilakukan,
dan
4)
Berkaitan dengan metode dan strategi yang dipilih dalam mengelola perubahan.
Dimensi pertama yang muncul dalam
perspektif manajemen perubahan adalah konsep tentang proses perubahan. Konsep
mengenai proses perubahan ini akan memunculkan pertanyaan mendasar mengenai
“Kapan perubahan organisasi akan terjadi?”. Pemahaman mengenai proses perubahan
dapat menjadikan dasar dalam menciptakan kondisi sehingga memungkinkan
terjadinya perubahan.
Dimensi kedua, yaitu perubahan yang
berkaitan dengan konteks dan ketidakpastian. Dimensi ini terkait dengan alasan
mengenai mengapa harus berubah. Jika dikaitkan dengan fenomena lingkungan
bisnis yang terus mengalami perubahan dinamis maka pertanyaan seperti “Apakah
kita harus berubah?” menjadi tidak relevan lagi untuk dikemukakan. Pertanyaan
yang lebih penting adalah “Darimana perubahan akan dimulai?”, “Apakah perubahan
akan menjadikan hal yang lebih baik?”, “Kapan seharusnya perubahan dilakukan?”.
Jawaban dari pertanyaan seperti itu akan menjadi dasar untuk membangun suatu
konsep, suatu kegiatan bahkan landasan dalam mengelola perubahan. Landasan yang
kuat akan menjadi urgen ketika kita memahami bahwa setiap perubahan akan
memunculkan ketidakpastian.
Dimensi ketiga, yaitu menyangkut
konsep tentang isi dan skala perubahan yang akan dilakukan. Dimensi ini
mensyaratkan bahwa perubahan haruslah dipersepsikan sebagai sesuatu yang
membumi dan dapat dijangkau oleh mind set dan pemikiran. Ketika arah perubahan
dipersepsikan sebagai sesuatu yang tinggi atau utopis, maka yang tercipta
adalah resistensi yang kuat dalam menolak perubahan. Arah perubahan yang tidak
sesuai dengan tujuan-tujuan dan kepentingan anggota sangat memungkinkan akan
memunculkan fenomena status quo. Jika perubahan dipersepsikan sebagai sesuatu
yang membuat anggota organisasi tidak nyaman dengan posisi dan kondisi yang
baru, maka tidak mengherankan jika antusiasme dan komitmen untuk melakukan
perubahan sangat kecil.
Demensi yang terakhir, yaitu
menyangkut metode atau strategi yang dipilih dalam melakukan perubahan. Dimensi
ini memunculkan pertanyaan ”Tentang strategi apa yang akan digunakan?”.
Pemilihan metode dan strategi yang tepat merupakan faktor penentu keberhasilan
organisasi dalam melakukan perubahan.
KAPAN PERUBAHAN TERJADI DAN KAPAN
DILAKUKAN?
Setidaknya
terdapat tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan organisasi
(Soerjogoeritno; 2004).
Pertama, sejumlah ketidakpuasan dengan kondisi
sekarang. Semakin besar rasa ketidakpuasan dengan kondisi sekarang, akan
semakin mendorong untuk melakukan perubahan.
Kedua, ketersediaan alternatif yang
diinginkan. Semakin banyak alternatif yang tersedia yang lebih layak untuk
memperbarui kondisi sekarang menuju kondisi yang lebih baik maka semakin
menguntungkan bila melakukan perubahan.
Ketiga,
adanya suatu perencanaan untuk mencapai alternatif yang diinginkan. Bila ada
perencanaan yang baik dan sistematis berarti semakin terbuka peluang melakukan
perubahan.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah apakah pengorbanan yang dikeluarkan akan sebanding
dengan hasil yang didapat jika perubahan dilakukan?. Jika hasil melebihi
pengorbanan maka proses perubahan akan lebih mudah dilakukan. Namun sebaliknya,
jika keuntungan tidak sebanding pengorbanan, maka perubahan akan menemui
hambatan.
Menurut Charles Handy (1994), dalam
Kasali (2005), setiap organisasi akan berkembang mengikuti Kurva Sigmoid
(Sigmoid Curve), yaitu seperti kurva S yang tertidur. Organisasi akan
menghadapi masa-masa pertumbuhan, puncak dan akhirnya mencapai masa-masa penurunan
(lihat gambar 2).
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa melakukan perubahan tidak perlu menunggu sampai
saat-saat krisis. Perubahan terbaik justru seharusnya dilakukan pada saat-saat
perusahaan sedang mengalami peningkatan. Karena pada saat itulah perusahaan
mempunyai rasa percaya diri yang besar, serta sumber daya yang tangguh. Namun
kondisi seperti itu sulit mendorong organisasi untuk berubah karena organisasi
merasa nyaman menikmati keberhasilannya. Karena perubahan dilakukan pada masa
jaya, penolakan perubahan (resistance to change) akan muncul sangat kuat.
Karena berada pada posisi pertumbuhan, maka kebanyakan anggota organisasi akan
merasa puas. Mereka beranggapan bahwa keuntungan atau benefit yang akan
diperoleh tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan.
PENOLAKAN PERUBAHAN
Penolakan
terhadap perubahan merupakan suatu yang sering terjadi dan bersifat alamiah.
Banyak hal yang menjadi alasan mengapa mereka lebih suka mempertahankan status
quo yang ada dan menolak untuk melakukan perubahan. Menurut Kerr (Hani dan
Reksohadiprodjo; 1997) penyebab timbulnya penolakan tersebut meliputi:
kepentingan pribadi, adanya salah pengertian, norma, keseimbangan kekuatan
serta adanya berbagai perbedaan seperti nilai, tujuan, dan lain sebagainya.
Adanya rasa kehilangan rasa nyaman,
kekuasaan, uang, keamanan serta identitas dan keuntungan-keuntungan lain yang
ditimbulkan adanya perubahan akan menimbulkan penolakan. Selain itu, salah
pengertian sebagai akibat salah informasi menjadikan orang enggan untuk
menerima perubahan. Hal ini dikarenakan mungkin mereka merasa tidak diikutkan
dalam diskusi dan penyusunan rencana perubahan. Mereka tidak mengetahui tujuan,
proses, dan akibat potensial yang ditimbulkannya. Lebih jauh lagi,
aturan-aturan serta norma-norma yang sudah tertanam kuat juga akan menghambat
adanya suatu perubahan. Mereka mungkin mereka takut atau menyangsikan bahwa
perubahan akan meninjadikan keadaan menjadi lebih baik. Kurang adanya rasa
kesadaran dan kepercayaan dari pihak-pihak yang menolak adanya perubahan.
Sedangkan Quirke (1996), dalam
Soerjogoeritno (2004), mengidentifikasi beberapa penyebab adanya penolakan
terhadap perubahan, diantaranya adalah:
1) Kurangnya atau tidak adanya
pemahaman akan kebutuhan untuk berubah,
2) Kurangnya atau tidak kondusifnya
konteks atau lingkungan perubahan,
3) Adanya pemahaman bahwa perubahan
yang akan dilakukan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai
dasar organisasi,
4) Kesalahan dalam memahami
perubahan dan implikasi-implikasinya,
5) Adanya pemahaman bahwa perubahan
yang akan dilakukan bukanlah merupakan pilihat terbaik bagi organisasi,
6) Tidak adanya kepercayaan atau
keyakinan terhadap orang-orang yang mengajukan rencana perubahan, 7) Tidak
adanya keyakinan terhadap keseriusan orang-orang yang memimpin perubahan, dan
8) Adanya konsepsi bahwa perubahan tidak dilakukan secara adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar