Sabtu, 28 Januari 2012

Teori Pengambilan Keputusan


 Pengambilan keputusan sebagai sebuah aspek penting dari pilihan karir dan pengembangan karir. Bagaimanapun dengan pengecualian dari teori pembelajaran sosial Kumblotz (1979), sebagian besar memberikan tanggapan yang kecil terhadap bagaimana individu membuat keputusan-keputusan itu.

Model Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli:
Japson dan Dilley 1974) serta Wight (1984)
 Jepson dan Dilley membagi model yang mereka diskusikan kedalam 2 kelompok:
o   model perspektif, yaitu model yang mendeskripsikan bagaimana keputusan sebaikmnya dibuat, dan
o   model deskriptif, yang menjelaskan bagaimana keputusan-keputusan sebenarnya dibuat.
Mereka juga mengatakan bahwa proses meliputi seorang pengambil keputusan dan situasi dimana terdapat 2 alternatif atau lebih yang membawa hasil potensial dari faktor-faktor penting untuk pembuat keputusan. Hal-hal yang penting dari proses ini adalah untuk mengidentifikasikan dan menentukan nilai-nilai relatif kepada altrernatif-alternatif dan konsekuensi mereka jadi dia dapat memaksimalkan hasilnya. Kami menguji secara jelas 2 model dari tiap-tiap tipe.
            Mitchel (1975) memodifikasi sebuah model yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Restle (1961) sehingga dapat diaplikasikan ke proses pengambilan keputusan dalam karir. Restle mengatakan bahwa pembuat keputusan mencocokan situasi yang dihadapi dengan pandangannya tentang sesuatu yang ideal kemudian memilih alternataif yang paling mirip dengan situasi yang ideal. Mitchel mengidentifikasikan 4 elemen yang dianut oleh pengambil keputusan.
1. Batasan mutlak yaitu faktor-faktor yang harus disajikan atau ditiadakan untuk alternatif agar menjadi aktif
2. Karakteristik negatif yaitu adlah aspek-aspek yang tidak diinginkan.
3. Karakteristik positif adalah aspek-aspek yang diinginkan.
4. Karakteristik netral adalah aspek-aspek yang ada namun tidak relevandengan pilihan yang dibuat.
Pengambil keputusan dapat menggunakan elemen-elemen ini dengan beberapa cara, sebagai pembanding, hanya katrakteristik-karakteristik positif, mengingat alterrnatif-alternatif satu demi satu mencocokan karakteristik positif dengan karakteristik negatif dan kombinasi-kombinasi lainya. Tuersky (1972) mengajukan sebuah model yang ia namai eliminasi oleh aspek-aspek. Pendekatan ini fokus pada semua pilihan secara serempak, dengan masing-masing pilihan mempunyai macam karakteristik. Pada model ini, karakteristik (misal pekerjaan keamanan) untuk tiap-tiap alternatif dicocokan, dan yang tidak sesuai dengan standar pengambil keputusan dieliminasi.
Contoh dari model deskriptif termasuk model pengharapan dari Vroom (1964) menggunakan dua persyaratan kunci dalam mengembangkan modelnya: valensi yang dapat diartikan sebagai pilihan dan harapan yang dapat diartikan sebagai kepercayaan, bahwa pilihan –pilihan dapat diwujudkan. Kedua aspek tersebut penting untuk masing-masing keputusan dan berpengaruh didalam proses. Paksaan atau tekanan untukmembuat sebuah pilihan khusus nsecara langsung berhubungan dengan jumlah valensi dari semua hasil dan kekuatan dari harapan-harapan yang dipilihnya akan muncul pada pencapaian hasil yang diinginkan.
            Janis dan Mann (1997) beranggapan bahwa konflik terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan mengambil sebuah keputusan, hal ini menimbulkan tekanan dan ketidakyakinan. Proses dimulai ketika pembuat keoutusan menjadi waspada akan ancaman yang ia rasa perlu untuk dipertimbangkan (misal suara alarm kebakaran). Proses ini berlanjut melewati beberapa langkah yang dapat digambarkan dengan runtutan pertanyaan yang jika dijawab dengan benar, memerlukan tindakan yang membawa ke pertanyaan berikutnya dan ketika dijawab dengan salah akan menimbulkan gangguan terhadap proses pengambilan keputusan. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain sebagai berikut.
1. Apakah beresiko rumit jika tidak saya ubah?
2. Apakah beresiko serius jika tidak saya ubah?
3. Dapatkah saya menentukan sebuah solusi aktif untuk masalah tersebut?
4. Apakah ada cukup waktu untuk mencari alternatif-alternatif aktif?
Individu yang menjawab pertanyaan terakhir secara benar dipertimbangkan berada dalam keadaan bahaya, dimana dapat diberikan perhatian untuk mempelajari informasi tentang kemungkinan-kemungkinan dan untuk menimbang keuntungan dan kerugian masing-masing kemungkinan. Hal ini dipertimbangkan menjadi situasi yang paling baik untuk mendapatkan keputusan yang tepat.
Konselor karir menghadapi sebuah dilema serius ketika membantu para klien dalam proses pengambilan keputusan. Sekarang tidak satupun dari model-model yang telah dijelaskan digabungkan kedalam teori-teori umum. Hal ini muncul seperti bahwa sebuah model dapat membantu beberapa klien dan beberapasituasi lebih baik dan yang lainya mungkin lebih meuaskan hasilnya untuk keadaan yang berbeda. Ironisnya, konselor harus menggunakan sebuah model dalam menentukan model mana yang sepertinya paling bagus untuk klienya saat ini.
Beberapa kesulitan yang besar bagi konselor berkisar pada ketidakmampuan untuk yakin pada penilaian karakteristik klien (misal seseorang tidak yakin terhadap motivasi klien, kejelasan memahami diri sendiri, dan keseksamaan dalammmenganggap dari beberapa faktor) sering tidak mungkin untuk yakin bahwa klien telah digabungkan dengan nilai paling pentingnya dan telah mengukurnya dengan tepat. Meskipun demikian, klien harus dibantu dan konselor harus meilih sebuah model atau kombinasi dari beberapa model yang muncul.


Model Pengambilan Keputusan:
 Decision Analysis
Model yang membantu para manajer memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam, tetapi mereka tidak dapat membuat keputusan.
Pengambilan keputusan merupakan suatu tugas yang sulit dalam kaitan dengan:
• ketidak-pastian masa depan
• konflik nilai-nilai atau hasil tujuan
Bagaimana membuat keputusandalam organisasi
v  􀂾 Langkah-langkah dalam membuat keputusan.
ü  Menggambarkan dan mengenali masalah dan kesempatan.
ü  Mengidentifikasi dan menganalisis macam langkah tindakanalternatif, mengestimasi  pengaruhnya dalam masalah atau kesempatan.
ü  Memilih tindakan yang lebih disukai.
ü  Mengimplikasikan tindakan yang lebih disukai.
ü  Mengevaluasi hasil dan kelanjutannya sebagaimana diperlukan
Bagaimana keputusan dibuat dalam organisasi?
§  Prosespengambilan keputusan sistematis tidak mungkin diikuti jika perubahan substansiil yang terjadi dan banyak teknologi baru yang digunakan.
§  Teknik keputusan novel boleh menghasilkan pencapaian atasan dalam situasi tertentu.
§  Konsekwensi pengambilan keputusan yang etis harus dipertimbangkan
Bagaimana keputusan di ambil dalam organisasi?
Lingkungan keputusan meliputi:
·         Lingkungan tertentu.
·         Mengambil resiko lingkungan.
·         Lingkungan tidak-pasti.

Ø  Lingkungan tertentu.
§  Bilamana informasi adalah cukup untuk meramalkan hasil dari tiap alternative dalam pengambangan implementasi.
§  Kepastian adalah masalah ideal dalam memecahkan dan pengambilan keputusanlingkungan
Ø   Resiko lingkungan.
§  – Bilamana pembuat keputusan tidak dapat menyudahi kepastian mengenai hasil berbagai macam tindakan, tetapi mereka dapat merumuskan kemungkinan kejadian.
§  – Kemungkinan dapat dirumuskan melalui sasaran prosedur statistik atau intuisi pribadi.
Ø    Lingkungan ketidak-pastian.
§  – Bilamana manager memiliki sedikit informasi bahwa mereka tidak dapat menetapkan kemungkinan suatu kegiatan dari berbagai alternative dan kemungkinan hasil.
§  – Ketidak-pastian memaksa pembuat keputusan bersandar pada individu dan kreativitas kelompok untuk berhasil dalam memecahkan masalah.
§  – Juga yang ditandai oleh dengan cepat mengubah:
• Kondisi-Kondisi eksternal.
• Kebutuhan teknologi informasi.
• Personil yang mempengaruhi definisi pilihan dan masalah.
§  – perubahan yang cepat ini adalah juga disebut anarki terorganisir.

Bagaimana keputusan dibuat dalam organisasi?
§  􀂾 Bentuk-bentuk keputusan.
§  – Keputusan terprogram.
• Melibatkan permasalahan rutin yang muncul secara teratur dan dapat ditujukan melalui tanggapan standard.
§  – Keputusan tidak terprogram.
• Melibatkan bukan permasalahan rutin yang memerlukan solusi secara rinci pada situasi yang ada

CONTOH PENGAMBILAN KEPUTUSAN

KEPUTUSAN DALAM CERTAINTY (KEPASTIAN)
  Hasil dari setiap alternatif tindakan dapat ditentukan dimuka
dengan pasti. Misal model linear programming, model integer
programming dan model deterministik.
Tujuan :
• Lebih dari satu tujuan.
• Lebih dari satu alternatif tindakan
• Setiap tindakan mempunyai satu atau lebih hasil

KEPUTUSAN DALAM KONDISI RESIKO
Kurang pastinya kejadian-kejadian dimasa mendatang, maka kejadian ini digunakan sebagai parameter untuk menentukan keputusan yang akan diambil
Situasi yang dihadapi pengambil keputusan adalah mempunyai lebih dari satu alternatif tindakan, pengambil keputusan mengetahui probabilitas yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasilnya dengan memaksimalkan expected return (ER) atau expected monetari value (EMV)

KEPUTUSAN DALAM UNCERTAINTY (KETIDAKPASTIAN)
            Pengambilan keputusan dalam ketidakpastian menunjukkan
suasana keputusan dimana probabilitas hasil-hasil potensial
tidak diketahui (tak diperkirakan). Dalam suasana
ketidakpastian pengambil keputusan sadar akan hasil-hasil
alternatif dalam bermacam-macam peristiwa, namun
pengambil keputusan tidak dapat menetapkan probabilitas
peristiwa.

Organisasi Belajar secara BerkesinambunganBelajar, dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku akibat dari pengalaman. Perubahan tingkah laku dimaksud, tentunya merupakan perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang sedikit tahu menjadi tahu lebih banyak dan lebih luas, dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari yang baik menjadi lebih baik. Pengalaman merupakan sebuah tantangan, atau dapat pula tantangan merupakan suatu pengalaman yang dapat menjadi stimulan, atau pemicu atau motivator untuk belajar. Semua organisasi akan selalu menghadapi tantangan-tantangan, baik dari luar (seperti para pesaing serta kemajuan ilmu dan teknologi) maupun dari dalam organisasi itu sendiri. Tantangan dari dalam organisasi adalah yang berhubungan dengan sumberdaya manusia dan perkembangan dari organisasi itu sendiri. Perkembangan, baik yang mengarah kepada kegagalan, atau yang mengarah kepada keberhasilan, merupakan tantangan bagi suatu organisasi.

BELAJAR DARI KEGAGALAN
Kegagalan merupakan suatu tantangan di mana organisasi harus menghadapi tantangan ini untuk belajar. Seperti yang dialami oleh General Radio Company  (GRC) sebuah perusahaan, yang memproduksi alat-alat testing elektronik di Amerika Serikat.  Pada waktu perang dunia ke II, perusahaan tersebut merupakan yang terbesar. Tetapi karena kalah bersaing dengan perusahaan lain, pangsa pasarnya terkikis. Berdasarkan pengalaman tersebut, pada tahun  1972 GRC mengadakan reformasi atau perubahan sistem secara komprehensif yang lebih berorientasi pada pasar. Lini produksi yang sebelumnya berjumlah dua puluh, dipangkas menjadi tiga, yang ditekankan pada lini produksi, penjualan dan pemasaran.

Pada tahun 1973, GRC merekrut sekelompok eksekutif dari luar organisasi, untuk membantu melaksanakan manajemen perusahaan yang telah diperbaharui tadi. Untuk simbolisasi secara formal perubahan tersebut, pihak manajemen  mengganti nama lama, menjadi GenRad. Dengan reformasi tersebut, volume penjualan yang pada tahun 1972 hanya $ 44 juta, meningkat tajam sampai $ 200 juta pada pertengahan 1980 (Robbins, 1994). Ini sebuah contoh di mana organisasi belajar (merubah kinerjanya) atas dasar kegagalan yang telah dialami.

BELAJAR DARI KEBERHASILAN

Bukan hanya kegagalan saja yang menuntut perubahan, tetapi juga keberhasilan. Celestial Seasoning Inc. (CS) sebuah perusahaan yang memproduksi minuman kesehatan,  yang didirikan oleh Mo Siegel dan John Hay pada tahun 1971. Awalnya pekerjaan di perusahaan CS ditangani oleh keluarga mereka berdua yang kala itu masih berumur 20 tahunan. Siegel dan Hay memetik tumbuhan yang terdapat di jurang dan tebing di sekitar tempat tinggal mereka. Pada saat yang sama, istri mereka menjahit karung, dan memilah tumbuhan yang telah didapat untuk di buat teh setelah dicampur dengan beberapa ramuan.  

Pada tahun pertama SR memasok sepuluh ribu kantong besar teh ramuan, ke toko-toko makanan di sekitar tempat tinggal mereka. Di awal berdirinya, SR juga dibantu oleh teman-teman mereka bersama keluarganya. Tidak ada diskripsi tugas, tidak ada lini produksi, kecuali pembagian kerja. Cara membuat keputusan semuanya tergantung pada nilai yang dianut oleh para pendirinya. Pertemuan informal dilakukan seminggu sekali. Tetapi yang dibicarakan bukan hal yang krusial, hanya menyangkut ciri filosofis dari kantong  teh yang dibuat, pertandingan volleyball, dan makan siang.

Pada pertengahan tahun 70 an, permintaan teh jamu produksi CR terus meningkat secara menakjubkan, sehingga tidak dapat terpenuhi dengan sumberdaya dan sistem yang ada selama ini. CS membutuhkan banyak pekerja dan struktur yang lebih formal. Pada saat ini CS mempekerjakan lebih dari 200 orang termasuk para professional dan dilengkapi beberapa departemen, ada lini-lini produksi, dengan diskripsi pekerjaan yang jelas. Mereka menempati lima buah gudang, di mana sebelumnya para pekerja dan semua yang terlibat berkumpul hanya dalam satu gudang saja (Robbins, 1994). Di sini CS belajar dalam arti merubah perilaku untuk lebih meningkatkan kinerja justru melalui pengalaman keberhasilannya.

Pertanyaanya apakah  Genenral Radio Company Inc. dan Celestial Seasoning akan berhenti belajar dengan kondisi organisasi (perusahaan) yang sudah seattle tadi. Tentunya tidak, karena pembelajaran dalam organisasi berarti pengujian pengalaman secara terus menerus (Senge, 2002). GRC belajar dari kegagalan menjadi sukses, dan CS karena keberhasilannya belajar untuk meraih sukses yang lebih besar, di mana hal  ini merupakan pengalaman baru bagi organisasi. Akumulasi dari pengalaman-pengalaman akan menjadi pengetahuan. Pengalaman ini juga akan menjadi stimulan untuk pembelajaran lebih lanjut. Selain itu semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin banyaknya organisasi kompetitor yang tentunya juga saling berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam pengertian luas, menuntut suatu organisasi untuk terus belajar tanpa henti.

BELAJAR DARI PENGALAMAN MASA LALU
Organisasi besar seperti negara kita mulai sejak merdeka sampai era reformasi seperti sekarang ini, juga masih terus belajar terutama di dalam sistem birokrasinya. Awalnya, sistem presidensial, menjadi sistem parlementer, lalu kembali lagi ke sistem presidensial yang terjadi pada jaman orde lama. Apa yang terjadi di zaman orde lama merupakan pengalaman yang mengharuskan negara kita untuk belajar lagi, memperbaiki sistem dan visi pemerintahannya. Misalnya kalau pada jaman orde lama sistem kepartaiannya terdiri dari banyak partai dengan berbagai macam ideologi, dipangkas menjadi hanya tiga partai dengan satu partai yang dominan dan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. Sistem pemerintahan yang gemuk dengan seratusan menteri menjadi ramping hanya dengan belasan menteri. Atau visi pembangunan orde lama yang cenderung beorientasi politik, berubah pada visi keamanan dan pembangunan ekonomi yang pada awalnya dititik beratkan pada sektor pertanian.

Jaman orde baru dengan keberhasilan dan kegagalannya memberikan pengalaman bagi kita untuk belajar dalam arti untuk berubah menjadi baik dan lebih baik. Sistem tiga partai, dengan satu partai yang dominan yaitu partai pendukung pemerintah, mengantarkan pada pemerintahan yang otoriter dan makiavilian. Visi pembangunan yang menekankan pada keamanan memunculkan pola pemerintah yang cenderung meliteristik  dan banyak terjadi pelanggaran HAM yang menakutkan, dan oknum militer masuk ke semua sektor mulai dari sektor legislatif, eksekutif atau sektor-sektor lain di kalangan pemerintahan atau non pemerintah bahkan sampai dunia pendidikan juga dirambahnya. Penekanan pada pembangunan ekonomi memunculkan pola pikir pragmatis, pola hidup yang hedonik dan pemerintahan yang penuh dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), monopoli dan oligopoli.

Penekanan pembangunan pada bidang ekonomi, dengan mengabaikan aspek yang lain khususnya pendidikan, telah menyebabkan kualitas sumberdaya manusia kita kalah bersaing dibandingkan negara-negara lain, dan mengantarkan kita pada label negara pengekspor tenaga kerja berkualitas rendah sekelas kuli bangunan dan pembantu rumah tangga. Pemerintahan yang sentralistik menyebabkan pembangunan hanya berpusat di Jakarta dan sekitarnya saja; sedangkan daerah tetap terbelakang.  

Belajar dari pengalaman jaman orde baru, orde reformasi mereformasi segala sistem yang ada pada jaman orde baru. Sistem tiga partai kembali lagi menjadi multi partai dengan ideologi partai tidak hanya Pancasila, serta jatah kursi militer di lembaga Legislatif dihapus dan segala sesuatu yang berbau militer direduksi. Pembangunan sumberdaya manusia mulai diperhatikan, misalnya perhatian terhadap dunia pendidikan. Berbagai komisi untuk menangani perilaku KKN, monopoli dan oligopoli, dan pelanggaran HAM, dibentuk komisi-komisi seperti KPK, KPPU, Komnas HAM di samping komisi-komisi yang lain. Pemerintahan tidak sentralistik lagi dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah. Pemerintah Daerah dapat memprogramkan pembangunan daerahnya sendiri, dan bebas menyusun APBD dan PAD nya sendiri. Orde baru telah belajar dari pengalaman orde lama untuk menjadi baik dan orde reformasi telah belajar dari pengalaman orde baru utuk menjadi lebih baik. Pertanyaannya apakah pada era reformasi kita, Negara kita, bangsa kita sudah menjadi baik?. Rupanya kita masih harus terus balajar, karena proses belajar dalam dunia organisasi berarti pengujian pengalaman secara terus menerus.

Perubahan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap organisasi. Organisasi akan selalu mengalami dinamika perubahan, baik yang disebabkan dari dalam maupun dari luar organisasi. Perubahan tidak harus terjadi begitu saja, namun perubahan harus mampu dikelola dengan baik. Manajemen perubahan diperlukan dalam rangka membantu proses perubahan menjadi lebih terarah. Artikel ini membahas bagaimana perubahan harus dilakukan, strategi yang dapat digunakan dalam proses perubahan, serta membahas kunci sukses dalam mengelola perubahan.


PERSPEKTIF MANAJEMEN PERUBAHAN
Seperti yang telah dikemukakan oleh Genus (1998), dalam Soerjogoeritno (2004), dalam menjelaskan perubahan organisasional dapat dilakukan melalui perspektif manajemen perubahan. Perspektif manajemen perubahan tersebut didasarkan pada empat dimensi utama, yaitu:
1) Berkaitan dengan konsep tentang proses perubahan,
2) Berkaitan dengan konteks dan ketidakpastian,
3) Berkaitan dengan konsep tentang isi dan skala perubahan yang akan dilakukan, dan
4) Berkaitan dengan metode dan strategi yang dipilih dalam mengelola perubahan.
Dimensi pertama yang muncul dalam perspektif manajemen perubahan adalah konsep tentang proses perubahan. Konsep mengenai proses perubahan ini akan memunculkan pertanyaan mendasar mengenai “Kapan perubahan organisasi akan terjadi?”. Pemahaman mengenai proses perubahan dapat menjadikan dasar dalam menciptakan kondisi sehingga memungkinkan terjadinya perubahan.
Dimensi kedua, yaitu perubahan yang berkaitan dengan konteks dan ketidakpastian. Dimensi ini terkait dengan alasan mengenai mengapa harus berubah. Jika dikaitkan dengan fenomena lingkungan bisnis yang terus mengalami perubahan dinamis maka pertanyaan seperti “Apakah kita harus berubah?” menjadi tidak relevan lagi untuk dikemukakan. Pertanyaan yang lebih penting adalah “Darimana perubahan akan dimulai?”, “Apakah perubahan akan menjadikan hal yang lebih baik?”, “Kapan seharusnya perubahan dilakukan?”. Jawaban dari pertanyaan seperti itu akan menjadi dasar untuk membangun suatu konsep, suatu kegiatan bahkan landasan dalam mengelola perubahan. Landasan yang kuat akan menjadi urgen ketika kita memahami bahwa setiap perubahan akan memunculkan ketidakpastian.
Dimensi ketiga, yaitu menyangkut konsep tentang isi dan skala perubahan yang akan dilakukan. Dimensi ini mensyaratkan bahwa perubahan haruslah dipersepsikan sebagai sesuatu yang membumi dan dapat dijangkau oleh mind set dan pemikiran. Ketika arah perubahan dipersepsikan sebagai sesuatu yang tinggi atau utopis, maka yang tercipta adalah resistensi yang kuat dalam menolak perubahan. Arah perubahan yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan dan kepentingan anggota sangat memungkinkan akan memunculkan fenomena status quo. Jika perubahan dipersepsikan sebagai sesuatu yang membuat anggota organisasi tidak nyaman dengan posisi dan kondisi yang baru, maka tidak mengherankan jika antusiasme dan komitmen untuk melakukan perubahan sangat kecil.
Demensi yang terakhir, yaitu menyangkut metode atau strategi yang dipilih dalam melakukan perubahan. Dimensi ini memunculkan pertanyaan ”Tentang strategi apa yang akan digunakan?”. Pemilihan metode dan strategi yang tepat merupakan faktor penentu keberhasilan organisasi dalam melakukan perubahan.

KAPAN PERUBAHAN TERJADI DAN KAPAN DILAKUKAN?
Setidaknya terdapat tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan organisasi (Soerjogoeritno; 2004).
 Pertama, sejumlah ketidakpuasan dengan kondisi sekarang. Semakin besar rasa ketidakpuasan dengan kondisi sekarang, akan semakin mendorong untuk melakukan perubahan.
 Kedua, ketersediaan alternatif yang diinginkan. Semakin banyak alternatif yang tersedia yang lebih layak untuk memperbarui kondisi sekarang menuju kondisi yang lebih baik maka semakin menguntungkan bila melakukan perubahan.
Ketiga, adanya suatu perencanaan untuk mencapai alternatif yang diinginkan. Bila ada perencanaan yang baik dan sistematis berarti semakin terbuka peluang melakukan perubahan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pengorbanan yang dikeluarkan akan sebanding dengan hasil yang didapat jika perubahan dilakukan?. Jika hasil melebihi pengorbanan maka proses perubahan akan lebih mudah dilakukan. Namun sebaliknya, jika keuntungan tidak sebanding pengorbanan, maka perubahan akan menemui hambatan.


Menurut Charles Handy (1994), dalam Kasali (2005), setiap organisasi akan berkembang mengikuti Kurva Sigmoid (Sigmoid Curve), yaitu seperti kurva S yang tertidur. Organisasi akan menghadapi masa-masa pertumbuhan, puncak dan akhirnya mencapai masa-masa penurunan (lihat gambar 2).


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa melakukan perubahan tidak perlu menunggu sampai saat-saat krisis. Perubahan terbaik justru seharusnya dilakukan pada saat-saat perusahaan sedang mengalami peningkatan. Karena pada saat itulah perusahaan mempunyai rasa percaya diri yang besar, serta sumber daya yang tangguh. Namun kondisi seperti itu sulit mendorong organisasi untuk berubah karena organisasi merasa nyaman menikmati keberhasilannya. Karena perubahan dilakukan pada masa jaya, penolakan perubahan (resistance to change) akan muncul sangat kuat. Karena berada pada posisi pertumbuhan, maka kebanyakan anggota organisasi akan merasa puas. Mereka beranggapan bahwa keuntungan atau benefit yang akan diperoleh tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan.


PENOLAKAN PERUBAHAN
Penolakan terhadap perubahan merupakan suatu yang sering terjadi dan bersifat alamiah. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa mereka lebih suka mempertahankan status quo yang ada dan menolak untuk melakukan perubahan. Menurut Kerr (Hani dan Reksohadiprodjo; 1997) penyebab timbulnya penolakan tersebut meliputi: kepentingan pribadi, adanya salah pengertian, norma, keseimbangan kekuatan serta adanya berbagai perbedaan seperti nilai, tujuan, dan lain sebagainya.
Adanya rasa kehilangan rasa nyaman, kekuasaan, uang, keamanan serta identitas dan keuntungan-keuntungan lain yang ditimbulkan adanya perubahan akan menimbulkan penolakan. Selain itu, salah pengertian sebagai akibat salah informasi menjadikan orang enggan untuk menerima perubahan. Hal ini dikarenakan mungkin mereka merasa tidak diikutkan dalam diskusi dan penyusunan rencana perubahan. Mereka tidak mengetahui tujuan, proses, dan akibat potensial yang ditimbulkannya. Lebih jauh lagi, aturan-aturan serta norma-norma yang sudah tertanam kuat juga akan menghambat adanya suatu perubahan. Mereka mungkin mereka takut atau menyangsikan bahwa perubahan akan meninjadikan keadaan menjadi lebih baik. Kurang adanya rasa kesadaran dan kepercayaan dari pihak-pihak yang menolak adanya perubahan.
Sedangkan Quirke (1996), dalam Soerjogoeritno (2004), mengidentifikasi beberapa penyebab adanya penolakan terhadap perubahan, diantaranya adalah:
1) Kurangnya atau tidak adanya pemahaman akan kebutuhan untuk berubah,
2) Kurangnya atau tidak kondusifnya konteks atau lingkungan perubahan,
3) Adanya pemahaman bahwa perubahan yang akan dilakukan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dasar organisasi,
4) Kesalahan dalam memahami perubahan dan implikasi-implikasinya,
5) Adanya pemahaman bahwa perubahan yang akan dilakukan bukanlah merupakan pilihat terbaik bagi organisasi,
6) Tidak adanya kepercayaan atau keyakinan terhadap orang-orang yang mengajukan rencana perubahan, 7) Tidak adanya keyakinan terhadap keseriusan orang-orang yang memimpin perubahan, dan 8) Adanya konsepsi bahwa perubahan tidak dilakukan secara adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar